Anto, memilih kuliah di kampus Akademi Komunitas Tekstil
Solo, karena merasa ada jaminan kerja pasca lulus. VOA menemuinya di depan kampus
setempat, akhir pekan ini.
"Saya yakin, karena kampus ini sudah kerja sama dengan
perusahaan tekstil terpercaya. Lulus langsung dapat kerja,” kata pria berusia
20 tahun ini dengan mata berbinar.
Tak ada keraguan terlihat di wajah mahasiswa yang sedang
bersiap magang di perusahaan tekstil, mulai semester depan.
Biasanya, kampus ini diwarnai dengan deru deretan mesin
pemintal benang, mesin penenun kain, hingga mesin pembuat pakaian jadi atau
garmen di lantai dasar. Namun, pekan lalu suasana relatif lebih sepi, dengan
deretan mesin jahit yang biasa dipakai praktik mahasiswa di lantai 4, juga kosong.
“Ini mahasiswa lama ada yang libur semester, ada yang magang
di pabrik, dan ada penerimaan mahasiswa baru,” jelas Anto tentang situasi di
kampusnya. Akademi Komunitas Tekstil atau AK-Tekstil, di Solo adalah kampus
negeri di bawah naungan Kementerian Perindustrian dan berdiri sejak 2015
Setiap tahunnya, kampus ini menerima 200 hingga 300
mahasiswa baru, dengan jumlah lulusan per tahun hampir sama dengan itu.Tahun
2015 kampus ini menerima 123 mahasiswa, dan terus meningkat hingga mencapai
puncaknya pada 2018 dengan 324 mahasiswa baru. Namun situasi berubah saat
pandemi, dengan hanya 253 mahasiswa baru pada 2019, dan terus merosot di 2021
dengan 166 pendaftar.
Sementara itu, angka kelulusan AK-Tekstil Solo relatif sama.
Pada 2015 ada 103 lulusan, dan terus meningkat hingga 2018 yang meluluskan 311
mahasiswa. Lalu turun di era pandemic, 2019 dengan 222 mahasiswa lulus. Tahun
2023 lalu, AK-Tekstil Solo mewisuda 158 mahasiswa.
Kampus ini memiliki tiga program studi, yaitu D-II Teknik
Pembuatan Benang, D-II Teknik Pembuatan Kain Tenun, dan D-II Teknik Pembuatan
Garmen.
Khawatirkan Dampak Krisis
Ambruknya industri tekstil dan produk tekstil nasional tentu
menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi tekstil. Apalagi, seperti
dikatakan Direktur AK-Tekstil Solo, Wawan Ardi Subakdo saat ditemui di
kantornya, perguruan tinggi ini secara khusus memang bertujuan menyiapkan
sumber daya manusia di sektor ini.
“Kami didirikan oleh pemerintah, Kementerian Perindustrian.
Komunitas perusahaan tekstil adalah mitra. Kami berkomitmen menyediakan SDM
bagi mereka. Lulusan kami jelas terserap di perusahaan tekstil mitra, kompeten dan
profesional,” ungkap WawAda sekitar 60 pabrik tekstil di Indonesia yang namanya
dipajang di pintu masuk gedung AK-Tekstil Solo ini. Lobby gedung pun menjadi
ajang pameran produk tekstil karya para mahasiswa. Ada batik, tenun lurik,
hingga tekstil tanpa motif alias polos. Patung manekin berjajar menampilkan
baju desain mahasiswa itu, serupa etalase. Juru bicara Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) Jawa tengah, Lilik Setiawan mengatakan industri tekstil
menyerap 43 persen dari total tenaga kerja di sektor industri manufaktur.
“Industri tekstil itu perusahaan padat karya. Sekitar 7,5
juta orang bekerja di industri tekstil dan terancam kehilangan pekerjaan alias
menjadi pengangguran jika kondisi industri tekstil tak pulih. Domino Effect
jika industri ini kolaps, industri berikutnya yang akan terpukul adalah pekerja
industri makanan-minuman, otomotif beserta turunannya,” ujar Lilik.
API Jawa Tengah melansir pertengahan tahun ini sudah ada 10
perusahaan tekstil dan produk tekstil di wilayahnya yang menutup usaha. Total
pekerja yang di-PHK lebih dari 10 ribu karyawan. Lilik juga mengatakan,
Indonesia bukan lagi satu-satunya negara pengekspor hasil industri TPT di dunia.
“Negara-negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar di
kawasan Indocina, negara tujuan relokasi industri tekstil China Ada India,
Bangladesh dan Pakistan kini juga menjadi pesaing Indonesia sebagai negara
produsen atau pemasok produk tekstil dunia,” ungkap Lilik.
Yang Jatuh dan Bertahan
Perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus tekstil
memiliki nasib berbeda, ada yang sudah bubar, namun adapula yang masih
bertahan. Beberapa yang masih mampu bertahan antara lain adalah: ITT -
Politeknik STTT Bandung, perguruan tinggi negeri milik pemerintah di bawah
Kementerian Perindustrian, AK-Tekstil Solo (Kemenperin), dan Akademi Komunitas
Tekstil API Surabaya, Jawa Timur.Ada juga yang sudah tutup, atau setidaknya
membubarkan jurusan tekstil.
Direktur AK-Tekstil, Solo, Wawan Ardi Subakdo mengungkap
kekhawatirannya, apa yang terjadi di industri tekstil akan berdampak pula di sektor
pendidikan khusus tekstil.
“Secara tidak langsung, dampaknya kami rasakan. Kalau
industri tekstil lesu, terancam, kami sebagai mitra vokasi juga merasakan angka
penyerapan lulusan kampus ini sedikit. Selama ini lulusan AK-Tekstil Solo ini
terserap ke perusahaan tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Kami bagian
pemerintah yang diberi tugas menyediakan SDM di industri pertekstilan. Kalau
penyerapan lulusan sedikit ya tujuan pembentukan kampus ini tidak tercapai,” ujar
Wawan.
Wawan juga menambahkan, kampusnya kini mengambil solusi
dengan perubahan orientasi kurikulum dan pola pikir lulusan.
“Prioritas kita memang menyediakan SDM industri tekstil.
Namun melihat kondisi di lapangan, kita cari solusi ya lulusan kami
diorientasikan menjadi enterpreneur UMKM tekstil. Ya meski tergolong usaha
skala kecil, kita coba bertahan. Lulusan kampus ini menjadi pengusaha UMKM
tekstil bisa mendirikan usaha sendiri,” jelasnya.
Lilik Setiawan dari API Jawa Tengah juga mengingatkan bahwa
keterpurukan industri akan berdampak ke sektor pendidikan tekstil.
“Kalau sampai tekstil dan produk tekstil impor membanjiri
pasar nasional, yang terancam bukan hanya industri domestik tetapi juga sumber
daya manusianya. Pekerja dan kampus vokasi tekstil. Industri tekstil itu padat
karya,” pungkas Lilik. [ys/ns]
Sumber: VOAI

COMMENTS