Philadelphia (VOA)
— Kepolisian Philadelphia, Amerika Serikat (AS) dalam pernyataan tertulis
kepada VOA, Jumat (9/8), mengatakan warga negara Indonesia (WNI) pelaku
penikaman di Kota Philadelphia, Pennsylvania, pada Minggu (4/8) lalu telah
didakwa dengan pasal pembunuhan, kepemilikan alat kejahatan, melakukan tindakan
yang secara ceroboh membahayakan orang lain dan perusakan barang bukti.
Dalam keterangan tersebut, terdakwa diidentifikasi bernama
Lim F. Pranasurya alias Feri, berusia 60 tahun, sedangkan korban bernama
Rahariyati Andayani atau Yeni, berusia 55 tahun. Kedua WNI ini diketahui berada
di Amerika Serikat sejak tahun lalu, kata Konsulat Jenderal Republik Indonesia
New York kepada VOA di Philadelphia, Jumat.
“Jadi mereka sampai di sini bulan Agustus tahun lalu dan
bekerja di Philadelphia,” ungkap Sekretaris I/Konsul KJRI New York Wanry
Wabang, yang menemui tim penyelidik Kepolisian Philadelphia bersama atase
polisi RI dari KBRI Washington DC, Brigjen Pol. Oktavianus Marthin.
Polisi menyebut penikaman itu bermotif domestik, yaitu
tindak kejahatan berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan atau
mantan pasangan.
Polisi kini menahan terdakwa, sementara sidang perdana
dijadwalkan pada 20 Agustus di Pengadilan Negeri Philadelphia.
Kronologi Penikaman
Dari keterangan beberapa orang yang berada di lokasi pada
waktu kejadian, peristiwa itu bermula dari pertikaian korban dan pelaku sejak
sekitar pukul 05.00 waktu setempat, pada Minggu (4/8). Belum jelas apa yang
dipermasalahkan.
Pelaku penikaman, Lim F. Pranasurya (kiri), dan korban,
Raharyati Andayani atau Yeni (kedua dari kiri), menghadiri sebuah acara. (Foto:
Melanie/dokumen pribadi)
Pelaku penikaman, Lim F. Pranasurya (kiri), dan korban,
Raharyati Andayani atau Yeni (kedua dari kiri), menghadiri sebuah acara. (Foto:
Melanie/dokumen pribadi)
Salah seorang saksi mata, Kasiana “Ana” Philip, yang tinggal
serumah dengan korban dan pelaku, sempat menengahi ketika perselisihan
berlangsung di luar rumah.
“Itu laki-laki ngomong masalah yang lalu-lalu, yang dulu-dulu,
tapi saya nggak peduli dia ngomong apa, saya cuma fokus sama istrinya doang,”
ungkap Ana yang berbicara kepada VOA di dekat lokasi kejadian, Jumat. Menurut
Ana dan beberapa orang lain yang mengenal mereka, pelaku kerap menyebut korban
sebagai istrinya.
“Kalau istrinya mah ngomongnya cuma, ‘Saya mau pulang, Ana.
Saya mau telepon anak saya, beliin tiket dari Indo, saya mau pulang. Saya udah
nggak kuat, mau pulang,’ gitu aja. Sampai saya rangkul naik ke atas. Saya nggak
tahu kalau kejadiannya begini,” tambahnya.
Menurut Ana dan seorang saksi lain, “Yeyen” Canwati, meski
sudah dilerai, keduanya lanjut bertikai di dalam rumah hingga matahari terbit.
Yeyen juga tinggal di rumah yang sama dengan korban dan pelaku.
“Saya lihat ini dua
lagi diam-diaman, satu di ujung – satu di meja, satu di bangku situ. Terus saya
langsung bikin kopi. Saya bilang, ‘Ci Yeni, mau ngopi?," tutur Yeyen
kepada VOA, pada kesempatan yang sama.
Tawaran Yeyen dijawab oleh korban, "Udah dibikinin Ci
Ana."
Kemudian, Yeyen menuturkan tiba-tiba suami korban
menghampiri korban dan korban mengatakan, "Itu airnya panas loh. Tuh, Ci
Yeyen, dia mau seduh ke muka saya tuh."
"Saya langsung ketakutan, saya langsung mundur. ‘Ini
kayaknya berantem nih’,” lanjut Yeyen, yang kemudian masuk ke kamarnya.
Peristiwa nahas itu pun terjadi. Polisi melaporkan bahwa
korban ditikam di bagian leher dan kedua kakinya.
Saat kejadian, Ana dan Yeyen, yang takut menjadi sasaran,
lantas menghubungi tetangga mereka, Stella “Nonik” Phang dan suaminya. Nonik
kemudian menghubungi polisi.
“Saya tidak melihat langsung, Cuma saya diteleponin sama
tetangga yang di atas itu dan saya datang cuma hanya ingin membantu
mendamaikan, apakah terjadi sesuatu,” urai Nonik, yang tempat tinggalnya
bersebelahan dengan rumah yang dihuni korban dan pelaku.
“Tapi ternyata saya buka pintu, itu yang si laki-laki ini
sudah berdarah. jadi saya nggak tahu kejadiannya sampai segimana parah,”
tambahnya.
Saat mendapati pelaku di balik pintu, Nonik melihat pelaku
sendiri juga sedang menghubungi polisi.
Nonik sempat bertanya kepada Feri mengapa terjadi peristiwa
itu. Menurut penuturan Nonik, jawaban Feri saat itu adalah "Kalau nggak
ada sesuatu, saya nggak mungkin melakukan ini."
"Tapi saya nggak sempat tanya melakukan ini sebabnya
apa. Nggak sempat saya tanya karena dia udah diborgol dulu dan dimasukin ke
mobil polisi,” terang Nonik.
Pihak berwenang, yang datang tidak lama kemudian,
mengamankan pelaku dan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu untuk
mengobati luka tusuk di kakinya sebelum ditahan. Polisi juga mengamankan
senjata yang diduga digunakan pelaku dalam penikaman, serta mengevakuasi
jenazah korban.
Orang-orang yang mengenal korban dan pelaku tidak pernah
menaruh kecurigaan sebelumnya. Mereka kerap tampil kompak dan ramah.
Meski demikian, para penghuni lain di rumah yang sama-sama
ditinggali korban dan pelaku sejak bulan April itu tahu bahwa keduanya kerap
beradu mulut di balik pintu.
“Ya ribut biasa lah. Namanya berantem, entar baik lagi. Tapi
di depan orang-orang nice (baik-red),” tutur Ana.
Adu argumen di antara keduanya biasanya terdengar dari dalam
kamar mereka.
“Kadang suka dengar juga, pikir saya, ‘Ah, biasa lah, entar
juga baik lagi.’ Nah, kali ini terakhir, ya saya nggak tahu. Tahu-tahu terjadi
begini.”
Sementara itu, Nonik menceritakan bahwa korban maupun pelaku
belakangan tidak memiliki pekerjaan tetap dan sempat mengeluhkan masalah
finansial.
Pada satu kesempatan, Nonik sempat menyapa korban yang
sedang berada di rumah dan menanyakan mengapa dia tidak bekerja hari itu. Yeni
kemudian menjawab "Oh iya, hari ini nggak kerja."
Nonik kemudian menjawab, "Kalau nggak kerja, kenapa
nggak turun sini, main-main, ngobrol."
Ajakan Nonik itu dijawab oleh Yeni: "Iya, saya ngga
boleh."
Penasaran dengan jawaban Yeni, Nonik kembali bertanya
"Kok nggak boleh? Kok sekarang kamu boleh turun?."
Pertanyaan Nonik dijawab oleh Yeni: "Sekarang
boleh."
Jawaban Yeni membuat Nonik makin heran.
"Aku nggak tahu ‘sekarang boleh’ maksudnya apa,” tutur
Nonik.
Nonik sempat menyarankan agar korban kembali ke Tanah Air,
jika memang tidak betah di AS
“'Kalau Yeni nggak kuat, Yeni pulang aja.’ Ibu Yeni sempat
meneteskan air mata sedikit di sini, langsung dihapus gini,” lanjut Nonik.
“Saya nggak terlalu banyak ngomong, karena itu kan [urusan]
pribadi dia, kan. Saya cuma lihat dia kayaknya dikekang, gitu," imbuhnya.
Korban berada di Amerika Serikat tanpa sanak keluarga,
karena ketiga anaknya yang sudah dewasa memilih tinggal di Indonesia.
Pendeta Aldo Siahaan, pemimpin jemaat gereja Philadelphia
Praise Center, yang diberi kuasa oleh keluarga korban, mengatakan anak korban
ingin pelaku diganjar hukuman setimpal.
“Saya bicara dengan
salah satu anak korban […] Dia sangat sedih banget. Gimana sih perasaannya jauh
dan mendengar Mamanya menjadi korban seperti ini,” tutur Aldo kepada VOA,
Jumat.
Di lokasi kejadian, teman-teman serumah korban yang
menyaksikan peristiwa tersebut mengalami trauma.
“Saya antara takut, trauma, terus stres. Jadi mau kerja, mau
apa, kayak malas gitu. Nggak bisa… kayaknya nggak ada daya. […] Sampai sekarang
kayaknya lemas aja, ngga bisa ini… Otak juga kayaknya pikirannya gimana, gitu,”
urai Ana, yang berencana pindah tempat tinggal.
“Kalau bisa mah hukum mati di Amerika. Benar saya mah, udah
nggak kuat. Takut saya juga laki-laki begitu,” tambahnya.
Sementara itu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI)
New York memastikan bahwa pelaku yang kini telah menyandang status terdakwa akan
dipenuhi hak kekonsulerannya.
“Meskipun dia pelaku statusnya, tapi tetap mendapatkan
pendampingan pengacara public defender (pembela umum) Philadelphia. Jadi hak
konsulernya berupa pendampingan dari kuasa hukum juga sudah ada, dan ini akan
kita kawal terus sampai nanti kasusnya akan putus sampai persidangan, terus
sampai penjatuhan hukuman juga,” jelas Wanry kepada VOA.
Hingga berita ini diturunkan, jenazah korban disemayamkan di
rumah duka Mitchum Wilson, Philadelphia. Rencananya, setelah ibadah tutup peti
pada 16 Agustus mendatang, jenazah akan dikremasi dan abunya akan dikirim
kepada keluarga korban di tanah air. [rd/em/ft]
Sumber: VOA INDONESIA

COMMENTS