Jakarta (VOA) — Pemerintah dan komisi I DPR sepakat membentuk
panitia kerja pembahasan revisi UU TNI dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen
di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave
Laksono menjelaskan UU TNI perlu direvisi untuk memenuhi kebutuhan hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Perubahan UU TNI itu dilandasi oleh kebutuhan akan
kepastian hukum terkait substansi-substansi esensi yang memerlukan perbaikan
dan penyempurnaan, antara lain batasan usia pensiun prajurit TNI dan penempatan
prajurit TNI (aktif) pada jabatan sipil.
Dave menjelaskan Pasal 53 UU TNI
Nomor 34 Tahun 2004 mengatur masa dinas prajurit TNI hingga umur 53 tahun bagi
bintara dan tamtama, serta 58 tahun untuk perwira. Dia menyebutkan batasan usia
ini perlu ditinjau ulang. Dia mengatakan peningkatan angka harapan hidup
masyarakat Indonesia menjadi pertimbangan penting untuk mengubah batasan masa
dinas bagi prajurit dan perwira TNI.
"Penyesuaian ini bertujuan
untuk mengoptimalkan potensi sumber daya manusia TNI. Perubahan batasan usia
pensiun juga diharapkan dapat meringankan beban kebutuhan keluarga prajurit
TNI, termasuk kebutuhan tempat tinggal, jaminan kesehatan, dan pendidikan anak.
Dengan demikian, perubahan Pasal 53 UU TNI adalah suatu keniscayaan," kata
Dave.
Dave mengakui kebutuhan
penempatan prajurit TNI di kementerian dan lembaga mengalami peningkatan. TNI
memiliki sumber daya melimpah sedangkan kementerian dan lembaga sering
mengalami keterbatasan. Karena itu, Pasal 47 ayat 2 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004
juga harus diubah. Prajurit TNI aktif pada UU TNI saat ini hanya boleh
menduduki jabatan di 10 kementerian/lembaga. Pada revisi ini penempatannya akan
di tambah menjadi 15 kementerian/lembaga.
Berdasarkan Undang-Undang tentang TNI saat ini, prajurit
aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden,
Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan
Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung. Untuk menjabat
di kementerian/lembaga itu, pimpinan kementerian/lembaga terkait harus
mengajukan permintaan resmi terlebih dahulu.
Lembaganya, kata Dave, telah resmi menetapakan RUU tentang
Perubahan atas UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sebagai program legislasi nasional
prioritas tahun ini. DPR juga sudah menerima surat dari Presiden Prabowo
Subianto bertanggal 13 Februari yang telah menunjukkan wakil pemerintah untuk
membahas perubahan UU TNI bersama DPR.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan penempatan
prajurit aktif ini dilakukan sesuai kebutuhan dan permintaan dari
kementerian/lembaga. Namun, harus ada seleksi bagi para prajurit dalam
menempati jabatan sipil tersebut.
“Prajurit yang mendapatkan jabatan di luar instansi yang
masuk dalam aturan tersebut harus mengundurkan diri. Setelah pensiun, baru
diusulkan ke kementerian dan lembaga yang dimaksud. Tentunya dengan kapasitas
dan eligibilitas yang terukur, dan yang paling penting dia loyal kepada
negara," ungkapnya.
Sjafrie menjelaskan dalam revisi UU TNI akan ada 15
kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Jika mereka menduduki
posisi dalam 15 kementerian/lembaga tersebut, maka mereka tidak perlu pensiun
dari dinas militer.
Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan jabatan
sipil yang diisi oleh prajurit aktif dalam UU TNI ini terjadi karena
pemerintahan saat ini telah berganti dari Orde Baru ke Reformasi.
Terkait hal itu, kata Hussein, keberadaan Pasal 47 ayat 2 UU
TNI yang mengatur adanya 10 kementerian dan lembaga yang diisi oleh prajurit
adalah bagian dari kompromi.
Hussein mengatakan “akan ada upaya militerisasi terhadap
kehidupan sipil jika revisi UU TNI ini disahkan,” karena di situlah jantungnya.
“Niat Presiden Prabowo untuk menggunakan personil TNI aktif dalam program Makan
Bergizi Gratis (MBG) dan lainnya akan berjalan mulus jika revisi UU TNI ini
jalan,” tegasnya.
Di Amerika Serikat, militer tunduk pada kendali sipil, artinya
pelibatan militer dalam jabatan sipil hanya dapat terjadi atas permintaan
otoritas sipil atau perintah presiden. Peran militer dalam ranah sipil terbatas
dan biasanya terkait dengan penanganan bencana, membantu penegakan hukum untuk
menjaga ketertiban sipil atau kerusuhan; namun selalu berada di bawah kendali
sipil.
Bapak Bangsa di AS merancang sistem kendali sipil-militer
dengan cara yang sesuai dengan rencana besar “checks and balances” atau “saling
kontrol dan menjaga keseimbangan.” Seorang presiden terpilih akan sekaligus
menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata sehingga pada saat bersamaan
dapat menjalankan fungsi memimpin angkatan bersenjata dan memastikan bahwa
militer akan senantiasa tunduk pada kehendak rakyat. Presiden diberi kewenangan
untuk menugaskan perwira militer dan/atau menunjuk menteri pertahanan dan
lainnya untuk memimpin badan militer, namun melaporkannya secara teratur kepada
Kongres.
Kongres Amerika – yang terdiri dari dua majelis: Senat dan
DPR – memiliki kekuasaan sangat besar, termasuk dalam hal menetapkan strategi
dan postur pengawasan militer, menetapkan skala prioritas anggaran militer,
membentuk layanan baru dalam militer (misalnya pendirian US Space Force pada
tahun 2019), membentuk komponen baru yang dibutuhkan militer (misalnya
pembentukan US Special Operations Command dengan misi tertentu), menetapkan
kebijakan personel khusus (misalnya mencabut kebijakan Don’t Ask, Don’t Tell
bagi personel gay), menyatakan perang, menetapkan dan/atau membatalkan sistem
persenjataan, mengorganisir rantai komando, hingga meminta laporan berkala
tentang isu-isu penting yang menjadi keprihatinan Kongres (misalnya laporan
tahunan tentang kemajuan di Afghanistan), dan memberikan promosi. [fw/lt]
COMMENTS