JAKARTA (VOA) — Presiden Joko Widodo perintahkan
semua Kementerian/Lembaga serta instansi pemerintah lainnya untuk mencadangkan
(back-up) semua data nasional.
Pernyataan
tersebut dilontarkan oleh Jokowi sehubungan dengan serangan ransomware terhadap
Pusat Data Nasional (PDN) beberapa waktu lalu.
“Yang paling
penting adalah semua data yang kita miliki itu harus di-back up sehingga kalau
ada apa-apa kita sudah siap,” ungkap Jokowi.
Menurutnya,
langkah tersebut merupakan hasil evaluasi pemerintah terhadap kejadian
peretasan PDN yang mengakibatkan sejumlah layanan publik terganggu. Ia juga
menekankan bahwa serangan siber tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Sudah kita evaluasi semuanya, yang paling
penting semuanya harus dicarikan solusinya agar tidak terjadi lagi, di-back up
semua data nasional kita, sehingga kalau ada kejadian kita tidak
terkaget-kaget, dan ini juga terjadi di negara-negara lain, bukan hanya di
Indonesia saja,” jelasnya.
Ketika
ditanya mengenai desakan mundur terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika
Budi Arie Setiadi, Jokowi tidak menjawab secara gamblang. Ia hanya menjawab
semuanya sudah dievaluasi.
Sementara
itu, pakar IT Muhammad Salahuddin Manggalany mengungkapkan memang serangan
siber bisa terjadi di mana saja. Namun, katanya, hal tersebut tidak bisa
dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengabaikan serangan tersebut, apalagi
hal ini bukan yang pertama kalinya terjadi pada instansi pemerintah dan lembaga
lainnya di Tanah Air.
Menurutnya,
dalam melakukan sebuah transformasi digital dalam sektor apapun, seharusnya ada
sebuah standar dan kerangka penting yang harus dipenuhi sebelum layanan digital
diluncurkan, termasuk dari segi keamanan.
Melihat
berbagai kejadian serangan siber ini, Salahuddin melihat pemerintah tidak
pernah belajar dari pengalaman yang ada.
“Mekanisme
back up itu adalah suatu layanan itu harus dilengkapi dengan berbagai macam
fitur, termasuk dalam hal ini, keamanan yang kalau itu tidak dipenuhi
standarnya, layanan itu seharusnya tidak boleh dijalankan. Kalau sekarang Pak
Presiden baru mengatakan kita sediakan backup ya sudah terlambat, harusnya
sebelum itu backup harus berjalan, dan kalau tidak berjalan layanan tidak boleh
diluncurkan,” ungkap Salahuddin ketika berbincang dengan VOA.
Terkait
dengan serangan ransomware yang baru-baru ini terjadi pada Pusat Data Layanan
(PDN), tidak ada tindakan mitigasi yang bisa dilakukan. Pasalnya serangan ini
merupakan serangan yang paling parah dan tidak ada “obatnya”.
“Obatnya
cuma antisipasi berupa backup yang ternyata tidak kita sediakan itu. Jadi itu
kesalahan kita sendiri,” jelasnya.
Ke depan,
kata Salahuddin, proyek PDN harus ditinjau ulang secara menyeluruh karena
sebenarnya di dalam sebuah layanan digital semua best practice dan fitur termasuk
dari segi keamanan seharusnya sudah tersedia dan tinggal dijalankan. Namun,
ketika serangan siber ini terjadi, hal ini menandakan bahwa pihak-pihak yang
menjalankan layanan PDN telah lalai karena tidak menjalankan prosedur, standar
dan fitur yang sudah disediakan oleh penyedia layanan.
Dalam hal
ini, provider yang melayani PDN adalah Telkomsigma dan Lintasarta. Menurutnya,
kedua provider ini merupakan pemain yang cukup andal di industri tersebut, dan
sudah melayani pelanggan hingga ke tingkat global. Bahkan, pemerintah Indonesia
hanyalah sebagian kecil dari portofolio yang mereka layani.
Serangan
siber oleh peretas asing telah melumpuhkan Pusat Data Nasional di Indonesia dan
peretas meminta sejumlah uang tebusan (foto: ilustrasi).
“Pertanyaannya layanan mereka yang untuk
global tadi, itu baik-baik saja, banyak yang kita gunakan sehari-hari itu
di-host di Telkomsigma. Tetapi tidak pernah mengalami gangguan atau serangan
yang separah ini. Teknologi yang sama digunakan di PDN, jadi kalau yang lainnya
nggak kenapa-kenapa di provider yang sama sementara di PDN bermasalah, tentu
permasalahannya ada di PDN, bukan dari provider atau di si penyelenggara
pelayanannya dalam hal ini Telkomsigma dan kawan-kawan,” jelasnya.
Dengan
adanya kelalaian tersebut, Salahuddin berharap, pemerintah ke depannya bisa
menempatkan orang-orang yang memiliki digital mindset ketika ingin menjalankan
transformasi digital di sektor pemerintahan. Dengan begitu, katanya, ia yakin
berbagai serangan siber ini akan bisa dimitigasi dengan lebih baik lagi.
“Jadi
seharusnya para pengambil keputusan itu ditempatkan orang-orang yang tepat,
orang-orang yang memang memiliki mindset digital. Kalau untuk urusan
pemerintahan yang lain yang masih konvensional orang-orangnya OK lah, tetapi
kalau untuk yang layanan digital, mau nggak mau harus ditempatkan orang-orang
yang memang paham,” pungkasnya. [gi/ab]
Sumber: VOAI

COMMENTS