Teks Foto: Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI, Selasa 11/3 (courtesy: Facebook/Kemhan).
Jakarta (VOA) — Pemerintah dan komisi I DPR sepakat membentuk
panitia kerja pembahasan revisi UU TNI dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen
di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave
Laksono menjelaskan UU TNI perlu direvisi untuk memenuhi kebutuhan hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Perubahan UU TNI itu dilandasi oleh kebutuhan akan
kepastian hukum terkait substansi-substansi esensi yang memerlukan perbaikan
dan penyempurnaan, antara lain batasan usia pensiun prajurit TNI dan penempatan
prajurit TNI (aktif) pada jabatan sipil.
Dave menjelaskan Pasal 53 UU TNI
Nomor 34 Tahun 2004 mengatur masa dinas prajurit TNI hingga umur 53 tahun bagi
bintara dan tamtama, serta 58 tahun untuk perwira. Dia menyebutkan batasan usia
ini perlu ditinjau ulang. Dia mengatakan peningkatan angka harapan hidup
masyarakat Indonesia menjadi pertimbangan penting untuk mengubah batasan masa
dinas bagi prajurit dan perwira TNI.
"Penyesuaian ini bertujuan
untuk mengoptimalkan potensi sumber daya manusia TNI. Perubahan batasan usia
pensiun juga diharapkan dapat meringankan beban kebutuhan keluarga prajurit
TNI, termasuk kebutuhan tempat tinggal, jaminan kesehatan, dan pendidikan anak.
Dengan demikian, perubahan Pasal 53 UU TNI adalah suatu keniscayaan," kata
Dave.
Dave mengakui kebutuhan
penempatan prajurit TNI di kementerian dan lembaga mengalami peningkatan. TNI
memiliki sumber daya melimpah sedangkan kementerian dan lembaga sering
mengalami keterbatasan. Karena itu, Pasal 47 ayat 2 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004
juga harus diubah. Prajurit TNI aktif pada UU TNI saat ini hanya boleh
menduduki jabatan di 10 kementerian/lembaga. Pada revisi ini penempatannya akan
di tambah menjadi 15 kementerian/lembaga.
Berdasarkan Undang-Undang tentang
TNI saat ini, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang
membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara,
Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan
Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah
Agung. Untuk menjabat di kementerian/lembaga itu, pimpinan kementerian/lembaga
terkait harus mengajukan permintaan resmi terlebih dahulu.
Lembaganya, kata Dave, telah
resmi menetapakan RUU tentang Perubahan atas UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sebagai
program legislasi nasional prioritas tahun ini. DPR juga sudah menerima surat
dari Presiden Prabowo Subianto bertanggal 13 Februari yang telah menunjukkan
wakil pemerintah untuk membahas perubahan UU TNI bersama DPR.
Menteri Pertahanan Sjafrie
Sjamsoeddin menyatakan penempatan prajurit aktif ini dilakukan sesuai kebutuhan
dan permintaan dari kementerian/lembaga. Namun, harus ada seleksi bagi para
prajurit dalam menempati jabatan sipil tersebut.
“Prajurit yang mendapatkan
jabatan di luar instansi yang masuk dalam aturan tersebut harus mengundurkan
diri. Setelah pensiun, baru diusulkan ke kementerian dan lembaga yang dimaksud.
Tentunya dengan kapasitas dan eligibilitas yang terukur, dan yang paling
penting dia loyal kepada negara," ungkapnya.
Sjafrie menjelaskan dalam revisi
UU TNI akan ada 15 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif.
Jika mereka menduduki posisi dalam 15 kementerian/lembaga tersebut, maka mereka
tidak perlu pensiun dari dinas militer.
Wakil Direktur Imparsial Hussein
Ahmad mengatakan jabatan sipil yang diisi oleh prajurit aktif dalam UU TNI ini
terjadi karena pemerintahan saat ini telah berganti dari Orde Baru ke
Reformasi.
Terkait hal itu, kata Hussein,
keberadaan Pasal 47 ayat 2 UU TNI yang mengatur adanya 10 kementerian dan
lembaga yang diisi oleh prajurit adalah bagian dari kompromi.
Hussein mengatakan “akan ada
upaya militerisasi terhadap kehidupan sipil jika revisi UU TNI ini disahkan,”
karena di situlah jantungnya. “Niat Presiden Prabowo untuk menggunakan personil
TNI aktif dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lainnya akan berjalan
mulus jika revisi UU TNI ini jalan,” tegasnya.
Di Amerika Serikat, militer
tunduk pada kendali sipil, artinya pelibatan militer dalam jabatan sipil hanya
dapat terjadi atas permintaan otoritas sipil atau perintah presiden. Peran
militer dalam ranah sipil terbatas dan biasanya terkait dengan penanganan
bencana, membantu penegakan hukum untuk menjaga ketertiban sipil atau
kerusuhan; namun selalu berada di bawah kendali sipil.
Bapak Bangsa di AS merancang
sistem kendali sipil-militer dengan cara yang sesuai dengan rencana besar
“checks and balances” atau “saling kontrol dan menjaga keseimbangan.” Seorang
presiden terpilih akan sekaligus menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata
sehingga pada saat bersamaan dapat menjalankan fungsi memimpin angkatan
bersenjata dan memastikan bahwa militer akan senantiasa tunduk pada kehendak
rakyat. Presiden diberi kewenangan untuk menugaskan perwira militer dan/atau
menunjuk menteri pertahanan dan lainnya untuk memimpin badan militer, namun
melaporkannya secara teratur kepada Kongres.
Kongres Amerika – yang terdiri
dari dua majelis: Senat dan DPR – memiliki kekuasaan sangat besar, termasuk
dalam hal menetapkan strategi dan postur pengawasan militer, menetapkan skala
prioritas anggaran militer, membentuk layanan baru dalam militer (misalnya
pendirian US Space Force pada tahun 2019), membentuk komponen baru yang
dibutuhkan militer (misalnya pembentukan US Special Operations Command dengan
misi tertentu), menetapkan kebijakan personel khusus (misalnya mencabut
kebijakan Don’t Ask, Don’t Tell bagi personel gay), menyatakan perang,
menetapkan dan/atau membatalkan sistem persenjataan, mengorganisir rantai
komando, hingga meminta laporan berkala tentang isu-isu penting yang menjadi
keprihatinan Kongres (misalnya laporan tahunan tentang kemajuan di
Afghanistan), dan memberikan promosi. [fw/lt]
Sumber: VOAI
COMMENTS